Popular Posts

Saturday, July 27, 2013

Two Days #7



#7

Salah satu dokter terlihat mencari-cari sesorang. Segera aku dan Lay menghampiri dokter itu. Perasaan kaget, cemas, sedih tak percaya akan apa yang terjadi bercampur jadi satu saat aku tahu bahwa Edward mengalami pendarahan otak akibat benturan keras dikepalanya lagi. Lagi, satu kata yang membuat aku penasaran. Segera aku masuk kedalam kamar Edward, menggenggam tangannya dengan erat. Dingin itu yang kurasa, wajahnya pucat. Tak tega aku melihatnya. Cukup lama kami menunggu Edward sadar hingga aku dan Lay tertidur di sofa kamar Edward.
“Kayle..” kudengar suara pelan yang sontak membangunkanku. Kuhampiri Edward yang masih terbaring lemas.
“Edward.. Maafkan aku, sebaiknya kau dirawat dirumah saja. Biar aku yang merawatmu.. Akan kupanggil dokter sebentar.” Kataku penuh dengan rasa bersalah, kulihat Edward hanya tersenyum.
Segera aku keluar menemui dokter, Lay kubiarkan menemani Edward. Dokter yang kutemui masih cukup muda, senyum ramahnya, hidung mancungnya. Tapi kutahu itu hanya perasaan kagumku saja, sejenak kulihat saat dia memeriksa Edward sebuah cincin melingkar indah dijari manis tangan kanannya. Ternyata dia sudah menikah, beruntungnya gadis yang dinikahinya itu.
Selesai memeriksa, awalnya dokter itu agak khawatir dengan segala kemungkinan yang terjadi pada Edward. Tapi, setelah aku berusaha meyakinkannya akhirnya diperbolehkan juga.
“Pasien boleh dirawat dirumah. Tapi setiap harinya akan ada dokter yang memeriksa perkembangannya. Sebaiknya anda merawatnya baik-baik. Karena pasien—“ kata dokter itu, kalimatnya terhenti. Kulihat Edward seperti memberikan aba-aba pada dokter tersebut.
“Pasien kenapa dok?” tanyaku menyelidik.
“Tidak, pasien hanya bisa saja sering drop.” Katanya sambil melirik kearah Edward. Kulihat Edward hanya tersenyum. Lay yang sejak tadi duduk disofa hanya menggeleng, seperti ada sesuatu yang mereka bertiga sembunyikan. Aku hiraukan mereka. Kami bergegas pulang dengan semua peralatan medis yang masih menempel ditubuh Edward. Sementara kami berdua pulang, Lay yang sedari tadi setia menunggu kami akhirnya pulang. Besok dia akan menjenguk Edward dirumahku.
“Edward? Kau bisa jalan sendiri? Apa perlu aku bantu?” kataku segera setelah melihat Edward berjalan sendiri menuju kamarnya. Segera kubantu dia, kutopang tubuhnya dengan bahuku agak berat mamang, tapi kupaksakan. Kulihat Edward hanya tersenyum melihatku yang susah payah membantunya.
“Lebih baik kau istirahat saja, besok dokter akan kemari memeriksamu. Lay besok akan menjengukmu, kalau ada perlu panggil bibi saja. Aku mau langsung tidur, daaa..” aku meniggalkan Edward, tapi tanganku seprti ada yang menarik aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh tepat diatas Edward. Hembusan nafasnya terasa sekali, bau parfum khasnya menari-nari dihidungku. Jarak diantara kami hanya tinggal beberapa cm saja, tak lama kemudian kami saling berpaut bibir. Ciuman yang awalnya manis sekarang menjadi liar, kejadian ini seperti malam kemarin tapi kali ini terasa lebih berbeda. Sepertinya Edward tau kalau aku agak menyesal melakukan ini dengannya. Segera dia lepaskan ciumannya itu sebelum malam membunuhku.
“Tidurlah…” kataku lembut. Edward segera memelukku ketika aku akan beranjak bangun dari tempat tidurnya.
“Jangan pergi, aku takut. Bisa kau temani aku malam ini?”
“Tapi aku..”
“Kumohon, temani aku malam ini. Tidurlah bersamaku, aku janji tak akan melakukannya lagi.. Kumohon Kayle?”
“Baiklah kalau itu maumu, cepat tidur. Apa kau mau terus memelukku sampai besok?!”
“Iya iya. Jangan marah Kayle..” Edward merebahkan badannya diatasa tempat tidur, bersamaku tentunya. Malam ini aku merasa tenang sekali, hanya terdengar suara detik jarum jam di dinding, dan beberapa kali terdengar suara Edward mengambil nafas dalam-dalam.
“Edward…” suaraku lirih ketika mendapati Edward menggenggam tanganku erat seperti tak mau melepasku, kulihat wajahnya yang tidur dengan damainya sedikit tergambar sebuah senyuman diwajahnya.

No comments:

Post a Comment