#1
Hari-hari yang buruk sudah biasa aku lalui.
Marah, sedih, kecewa, dan masih banyak hal buruk lainnya. Tapi semuanya bisa
aku lalui selang berjalannya waktu. Tapi rasa ini, rasa yang tak pernah aku
pikirkan, tak pernah aku inginkan, tak pernah aku harapkan datang secara tiba-tiba.
Rasa yang harusnya tak ada.
Dear Kayle Audine..
Mungkin kau menerima surat ini saat aku
sudah tiada. Aku sebenarnya memendam rasa ini sudah lama. Namun aku takut kau
tidak menerimaku dengan segala kondisiku ini. Kau sudah menemukan yang lebih
baik dariku. Bukan berarti aku menyerah, tapi aku tahu aku memang tak pantas
untukmu. Aku tak punya alasan kenapa aku mencintaimu, kau juga tak perlu sebuah
alasan untuk menerima perasaanku. Sebenarnya aku ingin bersamamu ‘just Two Days,
sekarang dan selamanya… forever together’. Tapi sudah cukup kebersamaan kita
dahulu, hari-hari dimana kita dapat tertawa bersama, saling bercanda, meskipun
lebih banyak kesedihan dan kekecewaan yang selalu menghiasi hari kita. Maaf
untuk semuanya. Tapi memang aku tak bisa menolak kalau aku memang mencintaimu
dengan keadaanku dan dengan caraku. Maaf Kayle..
With Love, Edward Stuart
Seketika itu juga air mataku semakin
mengalir deras, bersamaan hujan semakin lebat. Seakan tahu bagaimana suasana
hatiku mala mini. Setelah kepergiannya, pikiranku serasa penuh dengan semua
kenangan bersamanya, semuanya dan tak terkecuali.
Hari itu, hari dimana aku mulai mencoba
mengenal lebih dekat dengan lawan jenis. Mungkin untuk gadis usia 19 tahunan
sepertiku hal itu masih terdengar agak asing. Pacaran begitulah mereka
menyebutnya. Berbeda, aku masih belum memikirkan hal itu dalam usia yang
mungkin menurut orang sudah saatnya memikirkan. Aku hanya sibuk dengan segala
urusan dengan dosen baruku yang terkenal killer itu. Yap, ini semester
pertamaku masuk kuliah. Sibuk dengan tugas-tugas, memang begitulah keadaannya
aku. Mendapat konsekuensi yang cukup berat karena terlambat mengumpulkan tugas
sudah terbiasa aku hadapi, mendapat omelan dari dosen sudah menjadi santapanku
sehari-hari.
Sampai saat aku bertemu dengannya, melalui
kejadian yang kurang mengenakkan. Siang itu aku sudah selesai kuliah, aku
segera bergegas pulang. Sialnya dijalan aku bertemu dengan segerombolan orang
berhenti didepan mobil, dengan muka sangar mereka mengetuk kaca mobilku. Aku
semakin takut, aku sendiri disana. Aku tak mau membukakan pintu dan berusaha
menancap gas dengan segera. Tapi, mereka mengancam akan mengikutiku kemanapun
aku pergi dan meneror keluargaku. Sebenarnya siapa mereka? Geramku dalam hati.
Aku masih terdiam, keringat dingin mulai mengalir. Akhirnya membuka kaca mobil,
dan benar mereka meminta aku turun dan menyerahkan semua benda berharga yang
aku miliki. Mereka mengancamku dengan sebuah pisau.
Tiba-tiba terdengar suara motor yang
kencang menuju kearahku. Dia, Edward. Dia mencoba melawan empat orang preman
yang sedang memalakku itu. Dan benar saja, empat lawan satu. Edward kuwalahan
menghadapinya, hampir saja dia ditusuk pisau. Untunglah polisi segera datang,
sebelumnya memang aku menelpon polisi untuk segera datang. Kejadian yang nyaris
merenggut nyawa Edward-pun terhindarkan. Aku segera membawanya masuk kedalam
mobil dan menuju ke Rumah Sakit terdekat.
“Kenapa menolongku?” tanyaku memecah keheningan.
“Ada dorongan saja.” jawab Edward dingin.
“Itu bisa membahayakan nyawamu, lihat tadi
kau hampir terbunuh karena menolongku. Dan sekarang kau jadi babak belur.
Mereka hanya ingin mobilku dan barang lainnya, tinggal aku berikan sudah beres
kan..” kataku masih menghadap kearah jalan.
“Kau! Selalu menggampangkan semuanya!” kata
Edward dengan nada tinggi.
“Memang benar, jika mobilku dicuri aku
tinggal laporkan ke polisi. Jika tidak bisa ditangani polisi, aku tinggal beli
lagi. Gampang kan?”
“Kau! Dari dulu tidak berubah!”
“Terserah apa katamu saja.” Jawabku dingin.
“Berhenti! Sekarang!” kata Edward sambil
menekankan kata sekarang.
“Kau mau kemana dengan keadaanmu yang
seperti itu. Lagipula ini sudah ditengah perjalanan. Sebentar lagi kita sampai
di Rumah Sakit. Tenanglah.” kataku santai. Kullihat wajah Edward semakit pucat.
Aku khawatir kulajukan mobil semakin kencang.
“Kau selalu menggampangkan apapun, selalu
ditangani dengan uang. Kau bukan segalanya dengan uang. Kau tak bisa dapatkan
semua yang kau inginkan dengan uang. Kau selalu menyepelekan. Itu kau dari
dulu, coba lihat bagaimana kau dengan sifatmu yang seperti itu. Kau selalu
mendapati hari buruk, bukan hanya di kampus saja.. Sadari itu Kayle..”
“Yayaya.. Kita sampai, ayo..” ajakku sambil
mencoba memapah Edward. Edward hanya bisa menggeleng dengan kelakuanku yang
memang susah dirubah sejak dulu. Sejak orang tuaku berpisah rumah, mereka
mementingkan karir mereka masing-masing. Aku anak tunggal dua pengusaha sukses
yang dibesarkan dengan uang dan bukan dengan kasih sayang. Mungkin karena itu
sikapku seperti ini.
No comments:
Post a Comment