Popular Posts

Saturday, July 27, 2013

Two Days #1



#1

Hari-hari yang buruk sudah biasa aku lalui. Marah, sedih, kecewa, dan masih banyak hal buruk lainnya. Tapi semuanya bisa aku lalui selang berjalannya waktu. Tapi rasa ini, rasa yang tak pernah aku pikirkan, tak pernah aku inginkan, tak pernah aku harapkan datang secara tiba-tiba. Rasa yang harusnya tak ada.
Dear Kayle Audine..
Mungkin kau menerima surat ini saat aku sudah tiada. Aku sebenarnya memendam rasa ini sudah lama. Namun aku takut kau tidak menerimaku dengan segala kondisiku ini. Kau sudah menemukan yang lebih baik dariku. Bukan berarti aku menyerah, tapi aku tahu aku memang tak pantas untukmu. Aku tak punya alasan kenapa aku mencintaimu, kau juga tak perlu sebuah alasan untuk menerima perasaanku. Sebenarnya aku ingin bersamamu ‘just Two Days, sekarang dan selamanya… forever together’. Tapi sudah cukup kebersamaan kita dahulu, hari-hari dimana kita dapat tertawa bersama, saling bercanda, meskipun lebih banyak kesedihan dan kekecewaan yang selalu menghiasi hari kita. Maaf untuk semuanya. Tapi memang aku tak bisa menolak kalau aku memang mencintaimu dengan keadaanku dan dengan caraku. Maaf Kayle..
With Love, Edward Stuart   
Seketika itu juga air mataku semakin mengalir deras, bersamaan hujan semakin lebat. Seakan tahu bagaimana suasana hatiku mala mini. Setelah kepergiannya, pikiranku serasa penuh dengan semua kenangan bersamanya, semuanya dan tak terkecuali.
Hari itu, hari dimana aku mulai mencoba mengenal lebih dekat dengan lawan jenis. Mungkin untuk gadis usia 19 tahunan sepertiku hal itu masih terdengar agak asing. Pacaran begitulah mereka menyebutnya. Berbeda, aku masih belum memikirkan hal itu dalam usia yang mungkin menurut orang sudah saatnya memikirkan. Aku hanya sibuk dengan segala urusan dengan dosen baruku yang terkenal killer itu. Yap, ini semester pertamaku masuk kuliah. Sibuk dengan tugas-tugas, memang begitulah keadaannya aku. Mendapat konsekuensi yang cukup berat karena terlambat mengumpulkan tugas sudah terbiasa aku hadapi, mendapat omelan dari dosen sudah menjadi santapanku sehari-hari.
Sampai saat aku bertemu dengannya, melalui kejadian yang kurang mengenakkan. Siang itu aku sudah selesai kuliah, aku segera bergegas pulang. Sialnya dijalan aku bertemu dengan segerombolan orang berhenti didepan mobil, dengan muka sangar mereka mengetuk kaca mobilku. Aku semakin takut, aku sendiri disana. Aku tak mau membukakan pintu dan berusaha menancap gas dengan segera. Tapi, mereka mengancam akan mengikutiku kemanapun aku pergi dan meneror keluargaku. Sebenarnya siapa mereka? Geramku dalam hati. Aku masih terdiam, keringat dingin mulai mengalir. Akhirnya membuka kaca mobil, dan benar mereka meminta aku turun dan menyerahkan semua benda berharga yang aku miliki. Mereka mengancamku dengan sebuah pisau.
Tiba-tiba terdengar suara motor yang kencang menuju kearahku. Dia, Edward. Dia mencoba melawan empat orang preman yang sedang memalakku itu. Dan benar saja, empat lawan satu. Edward kuwalahan menghadapinya, hampir saja dia ditusuk pisau. Untunglah polisi segera datang, sebelumnya memang aku menelpon polisi untuk segera datang. Kejadian yang nyaris merenggut nyawa Edward-pun terhindarkan. Aku segera membawanya masuk kedalam mobil dan menuju ke Rumah Sakit terdekat.
“Kenapa menolongku?” tanyaku memecah keheningan.
“Ada dorongan saja.” jawab Edward dingin.
“Itu bisa membahayakan nyawamu, lihat tadi kau hampir terbunuh karena menolongku. Dan sekarang kau jadi babak belur. Mereka hanya ingin mobilku dan barang lainnya, tinggal aku berikan sudah beres kan..” kataku masih menghadap kearah jalan.
“Kau! Selalu menggampangkan semuanya!” kata Edward dengan nada tinggi.
“Memang benar, jika mobilku dicuri aku tinggal laporkan ke polisi. Jika tidak bisa ditangani polisi, aku tinggal beli lagi. Gampang kan?”
“Kau! Dari dulu tidak berubah!”
“Terserah apa katamu saja.” Jawabku dingin.
“Berhenti! Sekarang!” kata Edward sambil menekankan kata sekarang.
“Kau mau kemana dengan keadaanmu yang seperti itu. Lagipula ini sudah ditengah perjalanan. Sebentar lagi kita sampai di Rumah Sakit. Tenanglah.” kataku santai. Kullihat wajah Edward semakit pucat. Aku khawatir kulajukan mobil semakin kencang.
“Kau selalu menggampangkan apapun, selalu ditangani dengan uang. Kau bukan segalanya dengan uang. Kau tak bisa dapatkan semua yang kau inginkan dengan uang. Kau selalu menyepelekan. Itu kau dari dulu, coba lihat bagaimana kau dengan sifatmu yang seperti itu. Kau selalu mendapati hari buruk, bukan hanya di kampus saja.. Sadari itu Kayle..”
“Yayaya.. Kita sampai, ayo..” ajakku sambil mencoba memapah Edward. Edward hanya bisa menggeleng dengan kelakuanku yang memang susah dirubah sejak dulu. Sejak orang tuaku berpisah rumah, mereka mementingkan karir mereka masing-masing. Aku anak tunggal dua pengusaha sukses yang dibesarkan dengan uang dan bukan dengan kasih sayang. Mungkin karena itu sikapku seperti ini.

No comments:

Post a Comment