#7
Salah satu dokter terlihat mencari-cari
sesorang. Segera aku dan Lay menghampiri dokter itu. Perasaan kaget, cemas,
sedih tak percaya akan apa yang terjadi bercampur jadi satu saat aku tahu bahwa
Edward mengalami pendarahan otak akibat benturan keras dikepalanya lagi. Lagi,
satu kata yang membuat aku penasaran. Segera aku masuk kedalam kamar Edward,
menggenggam tangannya dengan erat. Dingin itu yang kurasa, wajahnya pucat. Tak
tega aku melihatnya. Cukup lama kami menunggu Edward sadar hingga aku dan Lay
tertidur di sofa kamar Edward.
“Kayle..” kudengar suara pelan yang sontak
membangunkanku. Kuhampiri Edward yang masih terbaring lemas.
“Edward.. Maafkan aku, sebaiknya kau
dirawat dirumah saja. Biar aku yang merawatmu.. Akan kupanggil dokter
sebentar.” Kataku penuh dengan rasa bersalah, kulihat Edward hanya tersenyum.
Segera aku keluar menemui dokter, Lay
kubiarkan menemani Edward. Dokter yang kutemui masih cukup muda, senyum
ramahnya, hidung mancungnya. Tapi kutahu itu hanya perasaan kagumku saja,
sejenak kulihat saat dia memeriksa Edward sebuah cincin melingkar indah dijari
manis tangan kanannya. Ternyata dia sudah menikah, beruntungnya gadis yang
dinikahinya itu.
Selesai memeriksa, awalnya dokter itu agak
khawatir dengan segala kemungkinan yang terjadi pada Edward. Tapi, setelah aku
berusaha meyakinkannya akhirnya diperbolehkan juga.
“Pasien boleh dirawat dirumah. Tapi setiap
harinya akan ada dokter yang memeriksa perkembangannya. Sebaiknya anda
merawatnya baik-baik. Karena pasien—“ kata dokter itu, kalimatnya terhenti.
Kulihat Edward seperti memberikan aba-aba pada dokter tersebut.
“Pasien kenapa dok?” tanyaku menyelidik.
“Tidak, pasien hanya bisa saja sering
drop.” Katanya sambil melirik kearah Edward. Kulihat Edward hanya tersenyum.
Lay yang sejak tadi duduk disofa hanya menggeleng, seperti ada sesuatu yang
mereka bertiga sembunyikan. Aku hiraukan mereka. Kami bergegas pulang dengan
semua peralatan medis yang masih menempel ditubuh Edward. Sementara kami berdua
pulang, Lay yang sedari tadi setia menunggu kami akhirnya pulang. Besok dia
akan menjenguk Edward dirumahku.
“Edward? Kau bisa jalan sendiri? Apa perlu
aku bantu?” kataku segera setelah melihat Edward berjalan sendiri menuju
kamarnya. Segera kubantu dia, kutopang tubuhnya dengan bahuku agak berat
mamang, tapi kupaksakan. Kulihat Edward hanya tersenyum melihatku yang susah
payah membantunya.
“Lebih baik kau istirahat saja, besok
dokter akan kemari memeriksamu. Lay besok akan menjengukmu, kalau ada perlu
panggil bibi saja. Aku mau langsung tidur, daaa..” aku meniggalkan Edward, tapi
tanganku seprti ada yang menarik aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh tepat
diatas Edward. Hembusan nafasnya terasa sekali, bau parfum khasnya menari-nari
dihidungku. Jarak diantara kami hanya tinggal beberapa cm saja, tak lama
kemudian kami saling berpaut bibir. Ciuman yang awalnya manis sekarang menjadi
liar, kejadian ini seperti malam kemarin tapi kali ini terasa lebih berbeda.
Sepertinya Edward tau kalau aku agak menyesal melakukan ini dengannya. Segera
dia lepaskan ciumannya itu sebelum malam membunuhku.
“Tidurlah…” kataku lembut. Edward segera
memelukku ketika aku akan beranjak bangun dari tempat tidurnya.
“Jangan pergi, aku takut. Bisa kau temani
aku malam ini?”
“Tapi aku..”
“Kumohon, temani aku malam ini. Tidurlah
bersamaku, aku janji tak akan melakukannya lagi.. Kumohon Kayle?”
“Baiklah kalau itu maumu, cepat tidur. Apa
kau mau terus memelukku sampai besok?!”
“Iya iya. Jangan marah Kayle..” Edward
merebahkan badannya diatasa tempat tidur, bersamaku tentunya. Malam ini aku
merasa tenang sekali, hanya terdengar suara detik jarum jam di dinding, dan
beberapa kali terdengar suara Edward mengambil nafas dalam-dalam.
“Edward…” suaraku lirih ketika mendapati
Edward menggenggam tanganku erat seperti tak mau melepasku, kulihat wajahnya
yang tidur dengan damainya sedikit tergambar sebuah senyuman diwajahnya.