Aku terduduk diam di bangku sekolah
sambil sesekali melirik kelas yang tepat berada di depanku. Kepalaku terangkat
berulangkali, mengharapkan seseorang yang sudah membuatku rela menunggu selama
15 menit di sini karena dia kena hukuman untuk mengikuti tambahan jam pelajaran
karena nilai yang merosot tajam. Huft… untuk kesekian kalinya aku harus
menghela nafas pasrah. Cepatlah….
“Kau tertidur? Maaf,”
Kepalaku terdongak kaget. Mataku
mengerjap berulangkali akibat bangun dengan cara tak menyenangkan. Aku melihat
seorang gadis yang membuatku menunggu-nunggu sekitar… Astaga! Sudah satu jam
aku duduk sendirian di sini! Dan parahnya, tadi aku sudah tertidur dengan
posisi duduk menunduk.
“Rey, sorry…” ucapnya lagi. Aku
hanya bisa tersenyum. Aku tidak bisa marah padanya.
“Nggak apa-apa Kak. Ayo pulang!”
ajakku sambil menggandeng tangannya. Kak Raya menatapku dengan tatapan memelas.
“Ayolah Kak, semakin lama malah aku marah. Cepat!” sambungku.
Dengan mengeratkan genggaman
tanganku, aku langsung menggeret Kak Raya ke arah parkiran sepeda. Sedangkan
yang ku tarik hanya bisa terkikik, mungkin karena aku terlalu seperti anak
kecil?
*
Tanganku sibuk memotong wortel
sementara Kak Raya juga berkutat dengan campuran bumbu untuk makan malam hari
ini. Beginilah nasib tak punya pembantu. Mau makan? Masak sendiri! Tapi ada
enaknya juga. Karena aku jadi bisa bertahan hidup jika berada di rumah seorang
diri. Hehe…
“Rey,
coba cicip ini,” pinta Kak Raya sambil menyodorkan sendok berisi kuah sup yang
dibuatnya. Aku langsung menyeruput isinya, sedikit menutup mata mencoba mencari
kekurangan masakan ini.
“Nggak
tahu harus bilang apa, tapi ini enak! Kakak gimana nyampurnya sih?”
“Eoh?
Are you kidding me?”
Kak
Raya mencoba mencari kejujuran dalam mataku. Ayolah! Aku tak pernah bohong soal
makanan. Enak ya enak, sedang ya sedang.
Aku
langsung menuangkan wortel yang kupotong ke dalam panci berisi kuah sup tanpa
menunggu aba-aba dari Kak Raya. Percuma mau menunggu titahnya, dia sendiri
sedang shock dengan pernyataanku.
Kami
meneruskan kegiatan ‘mengacak’ dapur sambil sesekali mengobrol. Menu malam ini
tak muluk-muluk. Hanya sup dan ayam goreng. Sebenarnya ini karena perut kami
juga sudah melilit. Maklum, pulang sekolah tadi kami sama-sama langsung
tertidur tanpa makan dulu sampai sore. Jadilah perut kami berorkestra lagu rock
campur heavy metal. Akh, yang penting kami harus makan sekarang!
“Raya!”
Aku
dan Kak Raya yang sedang makan langsung menoleh. Tampak seorang pria paruh baya
berdiri di depanku. Kami kompak berdiri. Ayah sudah datang. Wajah Kak Raya
mendadak pucat.
“Ini
nilai apa? 50 untuk matematika, 35 untuk fisika, ini apa?!” bentak Ayah sambil
membuang kertas hasil ulangan Kak Raya ke meja.
“Ma…
maaf Yah… Raya nggak konsen…”
“Alasan!
Ayah jadi nggak percaya kata Ibumu yang bilang kau murid cerdas! Apa hitungan
cerdas Ibumu seperti ini?!”
“Jangan
ikutkan Ibu, Yah!”
Ayah
menatapku tajam saat suaraku muncul. Cukup, ini berlebihan. Aku tahu Ayah
kecewa dengan hasil belajar Kak Raya. Tapi kalau sudah mengikut-ikutkan
mendiang Ibu, aku tidak akan tinggal diam.
Biar
aku jelaskan. Aku dan Kak Raya adalah anak dari keluarga broken home. Ayah dan
Ibu bercerai saat kami masih kecil. Kak Raya ikut Ibu tinggal di kampung,
sementara aku ikut Ayah di kota. Kami berdua sebulan sekali bertemu. Kata Ayah,
agar aku tetap mengenal sosok Ibu, dan agar Kak Raya tetap mengenal sosok Ayah
tentunya.
Ibu
merawat Kak Raya dengan penuh kesabaran, beda dengan Ayah yang mendidikku
sangat keras. Mungkin karena ini, Kak Raya jadi susah dekat dengan Ayah (walau
sebenarnya aku juga tidak dekat-dekat amat dengan Ibu). Tapi berkat persetujuan
sebulan sekali itu, aku dan Kak Raya saling mengenal satu sama lain dengan
baik, bahkan kelewat akrab.
Bulan
lalu, Ibu kami tercinta meninggal dunia karena penyakit jantung. Kak Raya
sangat terpukul dengan kejadian itu. Aku juga, walaupun tidak separah Kak Raya.
Dan sejak itu pula, Ayah memilih mengajak Kak Raya tinggal bersama kami. Memang
benar, nilai-nilai Kak Raya semasa Ibu masih ada sangat tinggi. Tapi sejak
tinggal bersamaku dan Ayah, nilainya merosot tajam. Ayah setiap hari murka
melihat semua ini dan menganggap Ibu dulu berlebihan memuji Kak Raya.
“Mulai
besok kamu Ayah ikutkan sekolah asrama dengan sistem pengaturan belajar yang
ketat. Kamu diberi fasilitas malah ngelunjak, jadi malas belajar. Emang didikan
kampung nggak bisa disamakan dengan didikan kota!”
“Cukup
Yah! Cukup! Ayah sudah kelewat batas! Maksud Ayah apa ngebedakan didikan kota
dan kampung?! Apa maksud Ayah Ibu ngedidik Raya dengan cara yang salah? Itu
maksud Ayah?! Kalau iya, silakan kembalikan Raya ke kampung! Kalo perlu nggak
usah ingat kalau pernah punya anak perempuan!”
“Apa
kamu bilang?! Kamu berani sama Ayah?!”
“Raya
akan bersikap sopan kalau Ayah bisa menghargai Raya! Untuk apa Raya susah-susah
nahan emosi kalau Ayah terus-terusan menekan Raya? Iya, Raya tahu nilai Raya
jauh banget dibanding Rey, tapi bukan berarti Ayah bisa bebas menekan Raya! Apa
Ayah nggak tahu Raya masih belum bisa melepas Ibu?! Do you know that, Daddy?!”
Aku
terkejut mendengar pembelaan dari Kak Raya. Matanya berkilat-kilat. Wajah
cantiknya berubah jadi menakutkan. Ini sudah bukan Kak Raya yang kukenal.
Tolong, siapapun kalian, tolong aku! Kembalikan Kak Raya yang kukenal!!!
“Lebih
baik Raya pergi dari sini. Kampung jauh lebih baik. Ada banyak temen yang
ngedukung Raya, nggak kayak di sini. Kota nggak cocok sama pribadi Raya!”
Kak
Raya pun berlari menuju kamarnya. Aku tahu, dia sedikit terisak. Aku tahu dia
sangat sakit hati dengan sikap Ayah. Tapi aku tidak tahu, apa dia serius dengan
ucapannya. Kuharap tidak…
Ayah
menatapku. Matanya masih memancarkan kemarahan, tapi tidak separah tadi.
Perlahan Ayah duduk di kursi ujung. Aku tak mengerti maksud tatapannya. Kuharap
beliau tak akan balas memarahiku.
“Rey,
tolong tanya sama Kakakmu. Kalau dia mau pergi, suruh minta antar Pak Bandi…”
“Nggak
Yah! Kak Raya nggak boleh pergi!”
Napasku
mendadak tersengal-sengal. Pandanganku sedikit buram. Jantungku berdegup cepat.
Tanganku mencari pegangan pada kursi. Pendengaranku sudah tak jelas, tapi aku
tahu ada suara gugup disekitarku.
“Rey!!!”
*
Aku membuka mataku perlahan. Ruang
serba putih. Setahuku kamarku berwarna biru laut, kenapa mendadak putih bersih
nan suci begini? Dan… kenapa badanku dililit selang-selang mungil tak jelas
begini? Emangnya aku sakit? Seingatku…
“Rey? Udah sadar?”
Suara
lembut Kak Raya membuatku membuka lebar-lebar mataku. Sosok gadis berkulit
putih berdiri di depanku. Tatapannya lembut, walau aku tahu dia cemas setengah
mati.
“Kakak,
aku dah melek. Jangan panik dong…” candaku. Kak Raya tersenyum lagi. Aku
melihat Ibu dalam senyuman itu. Ibu, aku merindukanmu…
“Pingsan
semalaman membuatmu pucat. Tunggu bentar, Kakak panggilkan dokter dulu. Jangan
macem-macem!” suruh Kak Raya. Aku cemberut manyun-manyun tak jelas. Enak saja
melarangku! Aku tahu, Kak Raya tertawa melihatku seperti ini. Tak apalah, asal
Kak Raya bisa menarik lagi bibirnya untuk tersenyum, aku rela melakukan apa
saja.
Sejenak
aku ingat lagi kejadian kemarin. Kak Raya dan Ayah bertengkar hebat. Saling
membentak, saling menatap mata dengan tajam. Kak Raya hampir meninggalkan
rumah. Dan akhirnya, aku terjatuh tak sadarkan. Aish, aku lemah sekali jadi
laki-laki…
Jam
tepat menunjukkan pukul 7 pagi saat Kak Raya datang dengan dokter di
belakangnya. Dokter itu membawa kotak putih di tangannya. Jangan disuntik!
Jangan disuntik!
“Rey,
dokter cek dulu ya…”
“Jangan
suntik!!!!!!”
Sontak
Kak Raya dan dokter muda itu tertawa begitu aku histeris sambil
menggerak-gerakkan tangan, menyimbolkan aku sangat tidak mau disuntik. Aku
memang takut dengan jarum suntik yang kecil nan imut-imut tapi amit-amit kalau
kena kulit.
“Nggak,
nanti cuma cek suhu badan sama denyut jantung kok. Laki-laki tapi takut
disuntik, apaan tuh?” ledek Kak Raya membuat wajahku berubah menjadi merah. Aku
mulai aksi manyun-manyunku lagi, karena hanya ini senjataku melawan Kak Raya
yang usilnya bisa muncul tiba-tiba.
“Bisa
saya bertemu orang tua atau wali Rey?” tanya dokter muda itu setelah mencatat
hasil pemeriksaanku. Wajahnya sedikit terlihat cemas. Kak Raya langsung
mengangguk dan mengajak dokter itu keluar. Eh? Aku belum melihat Ayah dari
tadi. Kemana ya?
*
Krieett….
Aku
sedikit terbangun mendengar suara pintu terbuka. Sosok laki-laki bertubuh tegap
menghampiriku. Itu Ayah.
“Kabarmu?”
tanya Ayah dingin. Aku hanya mengangguk kecil, tak berniat menjawab pertanyaan
Ayah. Klik, lampu menyala. Aku melihat wajah Ayah yang terlihat lelah. Hm,
berapa lama aku tidur? Sekitarku sudah terlihat gelap saja.
“Tadi
pagi Ayah kerja ya?” tanyaku kaku. Ayah hanya mengambil kursi dan menaruhnya di
dekatku. Tangannya menggapai tanganku, seperti mencari kekuatan. Wajahnya
menegang. Matanya menatapku layaknya menyesali semua yang pernah dilakukannya.
Ayah terduduk lemas, kepalanya tertunduk.
Aku
hanya bisa diam dan menyimpan beribu pertanyaan yang tiba-tiba muncul tanpa
komando saat melihat Ayah melemas seperti ini. Tak biasanya Ayah menundukkan
kepala di depanku. Ayah selalu menegakkan kepalanya, apapun masalah yang
dihadapinya, apapun halang yang merintanginya. Kepalaku rasanya sudah terlalu
penuh dengan pertanyaan.
“Mana
Kak Raya, Yah?” akhirnya suaraku keluar juga setelah bermenit-menit kami berdua
terdiam. Ayah mengangkat kepalanya, tersenyum pahit. “Istirahat saja, besok
siap operasi ya?” ucap Ayah pelan. Mataku membelalak. Operasi? Operasi apa?
“Kamu
akan operasi cangkok jantung. Maaf, Ayah nggak pernah cerita kalau kamu
menderita penyakit jantung akut. Ayah selalu mengajarimu dengan keras, karena
dalam pikiran Ayah, kamu akan lebih kuat. Ayah mohon, hanya kamu yang menjadi
alasan Ayah untuk tetap bertahan. Tinggal kamu Rey, kamu seorang,”
Air
mataku sukses menetes pelan. Aku menderita penyakit jantung? Penyakit yang sama
yang merenggut nyawa Ibuku? Dan itu jadi alasan Ayah mendidikku dengan keras?
Agar aku menjadi lebih kuat dan tak menyadari bahwa aku sebenarnya sangat
lemah?
Tapi
kenapa hanya aku harapan Ayah? Bagaimana dengan Kak Raya? Apa Ayah lupa masih
punya seorang putri yang setiap sore harus menahan emosinya tiap kali Ayah
murka karena nilai yang terjun bebas itu? Dan pertanyaan terbesarku, kemana
Kakakku???
“Yah,
please jawab pertanyaanku Yah! Kak Raya mana?!” paksaku. Ayah hanya menggeleng
sambil menggenggam tanganku.
“Asal
Ayah jawab pertanyaan Rey, Rey janji mau operasi Yah!”
“Apa
yang harus Ayah katakan kalau Ayah memang tak bisa menjawab pertanyaanmu?!
Kakakmu entah pergi kemana! Sekalipun kau mengejarnya, kau tak akan bisa
menahannya untuk tidak pergi!Bisakah kau mengerti itu?!”
Ayah
langsung berdiri dan melangkah keluar kamarku. Seluruh tubuhku bergetar hebat.
Aku tak mengerti maksud Ayah. Diksi yang Ayah pakai entah mengapa terlalu sulit
untuk kupahami.
“Apa
maksud Ayah?” kalimatku membuat Ayah menghentikan langkahnya. Kepalanya lalu
menoleh sedikit ke arahku. Lagi-lagi senyumnya yang sedikit pahit tersungging
di wajah tirus lelah Ayah. “Kau akan tahu besok. Istirahat saja,”
*
“Sudah
sadar?”
Suara
Ayah yang pertama kali sampai di telingaku. Mataku terbuka perlahan, sedikit
mengerjap karena ruangannya terlalu silau. Aku melihat Ayah, beberapa suster
juga dokter yang kemarin mengecek keadaanku. Sosok yang ku tunggu tak nampak.
“Sepertinya
jantungnya cocok. Respon tubuh Rey sangat bagus. Nanti akan kami cek lagi. Kami
permisi dulu,”
Dokter
beserta suster tadi pun keluar dari ruang rawat inapku. Aku hanya menatap Ayah
yang juga menatapku lembut. Aku memang masih terasa lemas, efek bius untuk
operasi jantung tadi. Aku memang baru saja di dorong ke ruang rawatku karena
operasiku sudah selesai tadi.
“Selamat
ya, jantungmu sekarang sehat lagi…” ucap Ayah. Matanya berkaca-kaca, masih
seperti tatapan kemarin yang penuh penyesalan. Aku hanya bisa tersenyum sekenanya.
Tik…
aku melihat air mata Ayah menetes. Pertama kalinya seumur hidupku, aku melihat
Ayah meneteskan air matanya. Badannya bergetar hebat. Refleks aku meraih tangan
Ayah yang tergantung bebas, menggenggamnya erat, seakan berusaha mengalirkan
kekuatan lewat jalan ini.
“Kakakmu…
ini hari pemakaman Kakakmu…” ucap Ayah pelan dengan sedikit terisak. Aku
mendadak diam tak bergerak, lalu seluruh tubuhku lemas. Kak Raya… meninggal?
“Ayah
bercanda kan? Kak Raya baru kemarin nemenin aku seharian waktu Ayah kerja…”
“Kemarin
Ayah ada di sini, duduk di depan kamarmu. Ayah nggak kerja, tapi nggak masuk
kamarmu juga,”
Aku
terdiam dalam tangis yang entah kapan sudah menguasaiku sepenuhnya. Hari yang
ku harapkan akan menjadi indah, hancur sia-sia. Kak Raya sudah tidak ada di
sampingku, dan sudah tidak mungkin lagi berada di dekatku. Baru saja bulan lalu
Ibu yang pergi, kenapa harus Kak Raya juga yang pergi?! Kenapa bukan aku saja
yang jelas sudah penyakitan?
“Kakakmu
meninggal karena kecelakaan. Raya… tertabrak mobil waktu berusaha mengejar Ayah
yang nyerah untuk mencarikan jantung buat kamu. Apa kamu tahu? Keadaan
jantungmu kemarin benar-benar buruk dan sudah tak bisa bekerja tanpa alat. Ayah
menyerah, karena selama ini nggak ada jantung yang cocok dengan punyamu…” kalimat
Ayah terputus, terputus oleh tangis yang juga mendera wajah tirusnya. Ayah yang
selama ini selalu tegar mengahadapi semuanya, kali ini ambruk terdorong duka
yang mendalam. Tapi ini tak memuaskanku. Bagaimanapun juga, semua kecelakaan
pasti masih bisa tertolong!
“Kenapa
bisa? Kenapa Kak Raya ketabrak? Kenapa Ayah nggak nolong Kak Raya?!” aku
histeris. Ayah langsung memelukku erat.
“Kakakmu
yang nahan kaki Ayah di ujung nyawanya. Kakakmu menolak dibawa ke rumah sakit.
Kamu tahu alasannya? Ini agar dia bisa mendonorkan jantungnya ke kamu, Rey.
Kamu sekarang hidup dengan jantung Raya…” Ayah masih memelukku erat sambil
menceritakan itu diiringi isakan kecil kami berdua.
Aku
hanya bisa menumpahkan semuanya lewat tangisanku yang sepertinya tak akan
habis. Kenangan manis dan pahit yang aku lewati bersama Kak Raya sebulan
terakhir ini seakan terputar otomatis layaknya roll film. Senyuman hangatnya,
garis muka yang selalu ceria, juga tingkahnya yang kadang tak ingat umur.
Kenapa Kak Raya harus memberikan kenangan itu kalau dalam waktu singkat dia
harus pergi selamanya? Tak tahukah ia betapa seringnya aku membayangkan
saat-saat yang akan kami lalui bersama nanti? Saat-saat yang selama ini selalu
ku lakukan sendiri tanpa saudara?
Akhirnya
aku sadar, semua tentu ada maknanya. Andai Kak Raya tidak tinggal bersamaku
sebulan ini, mungkin aku tak akan mengenal sosok Ibuku lebih jauh. Andai Kak
Raya tidak bersamaku, mungkin saat ini aku hanya bisa termenung dan
membayangkan seperti apa Kak Raya sebenarnya. Dan andai aku tak bersama Kak
Raya, aku tak akan bisa memahami hidup ini dengan cara yang lebih indah.
“Rey,
apa kakakmu membenci Ayah karena selama ini selalu memarahinya?” tanya Ayah
dengan keadaan masih memelukku erat. Aku baru sadar, penyebab dari tadi malam
raut wajah Ayah terlihat suntuk adalah kepergian Kak Raya. Sekeras apapun Ayah
pada Kak Raya, mereka tetaplah terikat oleh hubungan batin yang tak akan
terputus oleh apapun. Apalagi, Kak Raya juga sebenarnya sangat sayang pada
Ayah, seperti menyayangi Ibu.
“Ayah
tenang saja, Kak Raya pasti mengerti kenapa Ayah begitu. Kak Raya pasti mau
memaafkan Ayah,” jawabku sambil sesenggukan. Ayah melepas pelukannya dan
menatapku.
“Darimana
kamu belajar untuk setegar ini?” tanya Ayah lagi. Aku hanya tersenyum,
tersenyum lagi dibalik tangis yang masih mengalir.
“Seseorang
pernah bilang padaku, jika aku melakukan sesuatu dan sangat menyesalinya, maka
aku boleh menangis sekuat-kuatnya, sekencang-kencangnya. Bukan untuk mengumbar
emosi, tapi untuk mencari penyebab utama penyesalan itu. Aku memang masih
menangis, menyesal kenapa aku tidak lebih dekat lagi dengan Kak Raya dan Ibu,
karena jika makin dekat, maka makin banyak momen indah yang ku dapat. Tapi aku
berusaha bangkit, karena aku tahu pasti ada alasan kenapa hidupku seperti ini.
Rencana indah yang sudah dirancang Tuhan untukku,” jawabku pasti.
“Siapa
yang bilang?”
“Orang-orang
yang terpaksa membuatku menangis karena masih tak percaya mereka telah pergi.
Aku mencintai mereka, Ibu dan Kak Raya.”
Ayah
hanya tersenyum mendengar tuturanku. Kami berdua memang tenggelam dalam duka
untuk hari ini. Mungkin besok kami masih terisak. Tapi suatu saat kami pasti
akan menjadikan semua itu sebagai semangat hidup kami. Tuhan tak pernah tidur,
Tuhan selalu tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya. Kalau memang sepahit ini
yang harus kami terima, ya berarti kami harus membuka tangan lebar-lebar untuk
menyambutnya.
“Yah,”
panggilku pelan. Ayah menoleh ke arahku. “Ada apa?” tanya Ayah pelan. Aku
lagi-lagi tersenyum.
“Antarkan aku ke
makam Kak Raya kalau aku sudah boleh keluar dari rumah sakit. Aku ingin
mengunjunginya,” pintaku. Ayah mengangguk, lalu tersenyum dan memelukku lagi.